Mencicipi makanan saat puasa batal atau tidak? Pertanyaan tersebut jadi perdebatan sebagian masyarakat. Ada yang mengatakan batal, ada pula yang mengatakan tidak. Lantas, bagaimana sebenarnya menurut penjelasan ilmu fiqih?

Penjelasan Fiqih Terkait Mencicipi Makanan saat Puasa

Mencicipi makanan saat memasak bisa dibilang kewajiban untuk mengetahui apa rasanya sudah pas atau belum. Namun mencicipi masakan saat sedang puasa menimbulkan keraguan, karena khawatir akan membatalkan puasa.

Mencicipi makanan saat puasa pada dasarnya bukan termasuk hal yang membatalkan puasa. Karena, mencicipi tidak sampai menelan makanan tersebut.

Mencicipi hanya sebatas lidah untuk memastikan bahwa rasa masakannya benar-benar sudah pas dan tidak sampai tertelan dan masuk ke tenggorokan apalagi sampai ke dalam perut.

Karena tidak sampai ke tenggorokan dan tertelan, maka menurut ulama hal itu tidak membuat puasa batal dan hukumnya diperbolehkan jika memang diperlukan.

Hal ini merujuk pula pada pendapat Imam Ibnu Abbas ra, yang menjelaskan bahwa boleh saja orang puasa mencicipi makanan saat puasa. Sebagaimana dikutip oleh Syekh Badruddin al-‘Aini dalam karyanya, ia mengatakan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ، أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas, berkata: “Tidak masalah jika seseorang mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk ke kerongkongan, dan ia dalam keadaan puasa.” (Al-Aini, Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari).

Sementara itu, dari Syekh Sulaiman As-Syafi’i Al-Makki berpendapat hukum mencicipi rasa makanan bagi orang yang sedang puasa adalah makruh jika memang tidak ada keperluan untuk mencicipinya. Karena, mencicipi makanan bisa juga berpotensi membatalkan puasa.

Tapi jika ada kebutuhan, misalnya juru masak, maka hukumnya boleh saja dan tidak makruh. Syekh Sulaiman berkata:

وَيُكْرَهُ ذَوْقُ الطَّعَامِ أَوْ غَيْرِهِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْرِيْضِ الصَّوْمِ لِلْفَسَادِ، وَهَذا اِذَا لَمْ تَكُن حَاجَة. أَمَّا الطَّبَّاخُ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ كَمَا لَايُكْرَهُ المَضْغُ لِطِفْلٍ

Artinya, “Dimakruhkan (bagi orang berpuasa) mencicipi makanan atau selainnya, karena hal tersebut bisa berpotensi membatalkan puasa. Dan (hukum makruh) ini apabila tidak ada kebutuhan (hajat). Sedangkan juru masak, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak makruh baginya untuk mencicipi makanan, sebagaimana tidak dimakruhkan mengunyah (makanan) untuk anak kecil.” (Sulaiman Al-Makki, At-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah).

Pendapat lainnya yang mengatakan hukum mencicipi makanan saat puasa tidak batal dan dibolehkan juga disampaikan oleh golongan ulama Kufah

Ia menilai bahwa orang yang mencicipi makanan puasanya tetap sempurna dan tidak batal selama rasa makanan yang ia cicipi tidak tertelan sampai ke tenggorokan.
Sebagaimana yang dikutip dari Syekh Abul Hasan Al-Bakri Al-Qurthubi:

وَأَمَّا ذَوْقُ الطَّعَامِ لِلصَّائِمِ، فَقَالَ الْكُوْفِيُوْنَ: إِذَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ لَا يُفْطِرُهُ، وَصَوْمُهُ تَامٌ

Artinya, “Adapun mencicipi makanan bagi orang yang puasa, maka ulama Kufah mengatakan: jika (rasa makanan tersebut) tidak sampai masuk tenggorokan (tertelan), maka tidak membatalkan, dan puasanya sempurna (tidak makruh).” (Syekh Abul Hasan, Syarh Shahihil Bukhari).

Kesimpulan

Dari beberapa pendapat penjelasan dan ulama di atas dapat disimpulkan bahwa hukum mencicipi makanan saat puasa tidak membatalkan puasa selama tidak tertelan atau masuk hingga tenggorokan. Hanya saja, hukumnya makruh jika memang tidak diperlukan, dan tidak makruh jika kebutuhan seperti tukang masak.

Sebagaimana pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah. Sementara itu Imam Hasan Al-Bashri dan ulama Kufah membolehkan untuk mencicipi makanan tanpa syarat ada kebutuhan atau tidak.